I WISH I COULD BE BACK
Author : Nia
Casts :
Lee Taemin as Choi Taemin
Choi Minho as Choi Minho
Other casts.
Genre : Sad, Life, Romance.
Length : Oneshot.
_For my Beloved Mother… I give this story for you_
88888
Kepada Tuhan yang memberikan segala macam jenis kehidupan kepada setiap orang, tidak terkecuali diri ku, aku mohon…
Jika memang ini takdir ku, kuatkan lah orang-orang yang ada di sekitar ku.
Kabulkan lah doa ku…
Amin.
77777
“Lee Taemin… Mau makan buah??”
“Tidak Bu. Aku kenyang.”
“Tapi nanti kamu kan mau di operasi Nak…”
“……………….”
“Mau ya??”
“Anieyo”
“Kenapa?? Apa perasaan mu tidak enak…????”
“Tidak Bu. Aku tidak apa-apa… Aku mau tidur lagi ya?”
“Ya, anak ku. Maaf bila jam 1 nanti Ibu terpaksa membangunkan mu, Taemin…”
“Ya Bu…..”
Aku pun menutup mata ku. Terdengar Ibu berbisik pelan.
“Istirahat ya Nak….”
Hari ini, aku mulai di operasi lagi. Terhitung 6 kali sudah aku di operasi, dan ini yang ke tujuh. Saat-saat pertama kali aku di operasi, hampir-hampir aku kabur dari kamar rumah sakit. Aku terlalu takut jika nanti ketika di operasi, nyawa ku tidak selamat. Nyatanya, aku masih hidup sampai sekarang, dan mau di operasi berapa kali pun tidak jadi soal karena aku sudah tidak merasakan apapun. Aku malah merasa seperti sedang di teliti oleh para dokter yang tengah mengoperasi ku. Setiap keluhan sakit dan di periksa, semua di rumah sakit selalu menyarankan operasi, operasi, dan lagi-lagi harus di operasi.
Tidak heran karena penyakit ini juga sudah menggerogoti ku hingga stadium akhir. Yaitu, stadium 4 akut.
Namun anehnya, aku masih saja hidup. Dan merasa sehat.
“Nak… Bangun…”
Aku merasa tubuh ku di goyang-goyang kecil.
“Ngh?”
Ku lihat dengan mata ku yang masih sangat mengantuk, seseorang ber jas putih ditemani beberapa orang wanita dengan rok pendek dan topi di atas nya, menghampiri tempat tidur ku.
“Bagaimana keadaan mu hari ini? Apakah merasa enakkan?”
“It’s getting worst, Dok…”
“is it? Hmm, let me check you first…..”
“No. It’ll make no sense. Just take me to the surgery room… I want to end this up…”
“Hmm, good spirit. Oke, kalau begitu, kita sudah siap.”
Akhirnya mereka menggerek tempat tidur ku menuju ruang operasi.
Perasaan ku saat ini…
Aku tidak merasa kan apa-apa.
Apa aku sudah di bius?
66666
“Bagaimana operasi mu, Taemin?” Tanya seorang yeoja pada ku.
“Bagaimana apanya?”
“Hmm, apa ya… Mungkin… Rasanya??”
“Hah? Mana ku tahu.”
“Kalau begitu, apa kau merasa sudah baikan??”
“Belum kayaknya…”
“ Lho kok???”
“Kenapa?”
“Bukan kah operasi malah biar kamu sehat, Taemin???”
“Tidak juga”
“Lalu??”
“Lalu apa?”
“Yaaaa…. Kau merasakan apa setelah operasi kemarin???”
“Tidak merasakan apa-apa”
“Haissh… Serius sedikit dong, Min! Aku mengkhawatirkan mu tahu!”
“Untuk apa?”
“Aku mencintai mu!”
“Aku sudah tahu. Kau mengatakan itu berulang kali pada ku”
“Ya sudah! Seharusnya kalau aku tanya, jawab yang benar dong, ah!”
”Sudah.”
“Belum!”
“Pergilah, Sun Ree…”
“Mengapa malah mengusir ku…?!”
“Carilah pria lain yang bisa kau khawatirkan.”
“Ya itu kamu, Min!”
“Sana pergi.”
“Tidak mau!”
“Pergilah…”
“Tidak akan pernah, Taemin!!”
“SANA PERGI, DASAR BRENGSEK!”
“A…apa…?”
Yeoja itu, yeoja yang ku cintai, ia pergi sambil menangis setelah ku bentak.
Daripada ia sakit hati ketika ia nanti di tinggal mati oleh ku, lebih baik dari sekarang saja ku buat ia sakit hati pada ku.
Padahal aku begitu mencintai nya, dan ia pun selalu bilang bahwa ia mencintai ku lebih dari apapun. Cuma mau bagaimana lagi?
Dia lebih baik dengan pria lain yang sehat dan bisa menjaganya ketimbang dengan ku.
55555
Tidak kusadari, pintu kamar ku terbuka. Terlihat seorang namja jangkung bermata besar, masuk sambil membawa banyak bawaan kantung plastik mini market di tangannya.
“Kau ganti kamar ya, Taem??”
Aku tidak mengacuhkan pertanyaannya dan malah terfokus dengan bawaannya.
“Ahh… Kau membuat ku keliling rumah sakit saja… Hahhh…” Ucapnya sembari duduk dan menarik nafas.
“Itu apa?” Tanya ku sambil menunjuk barang bawaannya.
“Oh? Ini? Cemilan semua isi nya.”
“Mau dong…”
“Yee… Beli sana sendiri…”
“Oh, Ya sudah.”
“Ahahaha… tidak. Tentu saja semua ini untuk mu.”
“Terima kasih Minho. Kemarikan dong semuanya…”
“Tapi nanti aku di bagi ya, Dik…”
“Ya Kak…”
Ya. Dia kakak ku. Minho, kakak tertua ku— lain bapak— yang sekarang sudah tinggal di luar negeri karena kuliahnya.
Tiba-tiba, seseorang berteriak masuk dan membuat aku dan Minho kaget.
“HAAAAAIIIIII!!!!!!!!!!! Ibu manaaa….????” Pekiknya.
“SSSTT!!! Selalu ngagetin kalau datang! Pelan-pelan aja kek, tidak usah diteriakin juga, orang dengar tahu!” kata Minho geram.
“Ahahahahahahahahaha…… Mian yah, kakak ganteng! Aku ke sini, kangen sama Taemin! Hihi!”
“Ya ampun, kamu kan tiap hari jengukin dia, Bum!”
“Ya memang kenapa deh?? Tidak suka ha?? Tidak terima??? Hmm… Pulang saja deh sana ke Canada! Huh!”
“Baru juga pulang…”
“Ya sudah sana, tidak usah balik-balik lagi ke sini! Pergi sana!” Katanya sinis.
Aku dan Minho sama-sama bingung.
”Kenapa Kak Bum??”
“Gapapah! Seharusnya Minho tidak di sini lagi, ya kan Min??! Dia kan tidak sayang kamu! Dia kan yang membuat mu sedih… YA KAN…????!!!! Uhh…”
“Apa sih maksud kamu, Bum??” Tanya Minho gusar pada kakak perempuan ku yang bernama Bum itu.
“Masih tidak mengerti juga????? Ya Tuhan, kak Minho…..” Katanya dengan air mata yang tiba-tiba saja keluar dari matanya.
“Astaga… Ada apa dengan mu, Bum…???!”
Minho seketika, langsung memeluk Bum yang entah mengapa menangis begitu saja. Dan Bum pun menarik tangan Minho. Mereka berdua keluar dari kamar ku.
Setelah beberapa lama, mereka berdua kembali. Tidak heran melihat muka merah padam Bum dan Minho setelah dari luar kamar. Mereka sama-sama telah menangis hebat.
Minho menghampiri ku sembari mengelap sisa-sisa air matanya.
“Dik… Maafin kakak ya… Kakak jarang…hhh…jenguk kamu…..”
Dan kini sepertinya ia mulai ingin menangis lagi.
“Dik… Tadi kamu dengar sesuatu tidak dari luar pintu…??” Sergah Bum.
Aku menggeleng.
“Oh… Bagus kalau gitu…..”
Sebenarnya, aku dengar kok.
Kak Bum bilang pada kak Minho, bukannya semakin baik, justru kondisi ku semakin memburuk bahkan sudah sulit ditolong. Malah, dokter bilang pada Ibu, kalau hidup ku bisa ia perkirakan kapan aku bisa meninggalkan dunia ini.
Yah, sudah tidak asing lagi di dengar oleh telinga…
Penyakit kanker otak… stadium 4 pula…
Sama sekali belum ada obatnya.
44444
Jam 10 pm.
“4 hari kemungkinan. Itu terhitung mulai dari hari ini.”
Aku tidak bisa tidur. Dan juga pura-pura tidur. Makanya aku bisa mendengar lepas percakapan ibu dan dokter yang sedang memperkirakan kapan umur ku di tutup.
Tak lama, terdengar tirai tempat tidur ku di geser perlahan.
“Taeminnie, bangunlah…” sahut ibu. Tentu saja dia mengira ku sedang terlelap.
Ku buka mata ini agak pelan agar tidak ketahuan kalau aku hanya pura-pura saja.
“Apa kamu lapar, nak?”
Aku menggeleng.
“Oh… Begitu. Jadi, apa kamu kangen rumah??” tanya nya dengan mimik gembira yang di buat-buat.
Aku menangguk. “Tapi aku juga suka ada di sini kok, bu…” lanjut ku.
Sebenarnya, di rumah ataupun berada di sini sama saja. Tidak ada yang membekas sama sekali. Mungkin karena semuanya terlihat transparan bagi ku, aku jadi tidak peduli dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Karena aku tau semuanya.
Entah aku memang harus tau atau hanya kebetulan saja aku bisa tau.
“Jadi, kamu besok sudah di dalam selimut dan tempat tidur mu yang nyaman, Taeminnie. Apa kamu senang bisa pulang??”
“Ya. Itu bagus.”
“Hmm, oke! Sekarang kembali tidur. Besok pagi-pagi kita pergi ya. Selamat tidur, anak ku.”
Ibu mengecup kening ku. Dan aku rasa, itu adalah kecupan terakhir dari nya yang bisa ku rasakan.
33333
Minho memapah ku untuk bisa duduk di kursi roda yang sudah di siapkan. Selain dirinya, kak Bum dan Sun Ree juga datang membantu kepulangan ku ke rumah.
Di saat semua orang berlalu sedang mengangkat barang, aku hanya tinggal berdua saja dengan Sun Ree. Dan dia langsung mendekati ku.
Dan dengat cepat mendekap bahu ku.
“Akhirnya kamu pulang juga ke rumah! Mungkin ini pertanda bahwa kamu bakal baik-baik aja, Taem…”
Lalu ia melepaskan pelukannya. Dan ku lihat matanya berair dan ia tersenyum cerah. Mata ku saja sampai silau sangking cerahnya. Aku sungguh-sungguh. Buat ku, senyuman Sun Ree adalah kekuatan untuk ku. Meski akhirnya berujung dengan aku yang tidak akan mengacuhkannya. Itu tameng agar bisa membuatnya bosan dan pergi dari ku.
Sungguh aku bersumpah, aku rela mati asalkan Sun Ree bisa bahagia dengan orang lain.
“Taemin-ah! Sun Ree-ah! Ayo pulang, kajja!” Seru kak Bum dari depan pintu.
***
“Uhukk! Uhhukk!!”
Ibu datang menghampiri ku.
“Ya Tuhan, kenapa batuknya kencang sekali…?? Nak, apa ada yang terasa sakit??” tanya ibu panik.
Aku terus saja batuk. Tidak tau kenapa batuknya bisa sehebat ini. Padahal tenggorokkan ku tidak gatal. Dan sangking hebatnya batuk ini, aku pun muntah.
“ASTAGA! TAEMIN!” pekik kedua kakak ku, Minho dan Bum yang tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamar ku.
Aku juga tidak kalah kagetnya dengan yang ku saksikan. Kubangan darah kotor di lantai bersama dengan gumpalan-gumpalan di dalamnya, menghiasi lantai kamar ku akibat batuk ku barusan.
Semuanya hanya menatap ku.
Aku melirik ibu ku perlahan dan tiba-tiba pandangan ku kabur.
22222
“Maaf, saya telah membuat keputusan yang salah…”
“Ya… Itu sudah terjadi.. Tidak apa-apa, dokter…”
“Seharusnya saya tidak mengizinkannya pulang…”
“Tidak, tidak apa-apa dokter…”
“Hhh, baik kalau begitu. Nanti saya kembali lagi, nyonya Taemin sekali lagi maaf sebesar-besarnya…”
Aku menatap jauh keluar jendela. Menerawang sesuatu yang tak ada.
“DORR!”
Ya Tuhan, aku hampir saja mati kaget!
“Kok bengong, Min? Pasti belum makan ya..? Ya kaaan??”
“………………………”
“Hmm, aku membawakan mu es krim!” katanya seraya memberikan sekotak makan es krim vanilla kesukaan ku. Tapi aku tidak bisa.
“Ini… Sebentar aku ambil sen—“
“Buang itu.”
“Ap-apa?”
“Aku tidak suka.”
“Bohong! Aku ambil sendok ya—“
“KAU TULI YA! CEPAT BUANG ITU!”
“Tap—“
Aku menatapnya nanar. Aku sudah tidak kuat lagi harus selalu begini dihadapannya. Namja macam apa aku ini?
Entah tangan ini tiba-tiba bergerak sendiri menggenggam tangannya dan menariknya.
Lalu aku menciumnya.
“Taem—“
“Tolong jangan buat aku menderita, Sun Ree-ah… Kau seharusnya mencintai namja lain ketimbang aku yang sudah mau mati—“
PLAKK!!
Apa? Barusan Sun Ree menamparku?
“DIAM SAJA KAU, LEE TAEMIN!”
Aku terbelalak. Tadi barusan dia membentak ku?
Aku masih diam 1000 bahasa. Menunggu lanjutan kata-kata yang akan diutarakannya.
“ I—I’m in love with you, Lee Taemin…”
Aku membuang nafas sambil memutar bola mata ku.
“No one else but you…” lanjutnya. Dan itu sudah cukup.
Ku tinggal saja dia tidur. Dia pikir dia bisa seenaknya saja bicara. Dia pikir dia itu siapa. Huh, memang dia pikir dia itu benar. Dia pikir dia itu hebat. Dia pikir dia telah mengenalku lama. Dia pikir aku lah sesuatu yang dia cari. Dia pikir aku akan hidup selamanya atau akan bersama dia, menjaga dia, berada selalu disampingnya…
Sial, akhirnya aku menangis juga kan.
Semua ini karena nya. Apa dia tidak bisa membuang jauh diri ini? Tidak bisakah lupakan saja semuanya dan mengejar sesuatu yang lebih mungkin daripada diri ini?
Hhh… Ya Tuhan… Ini benar-benar parah. Terlalu parah!
Kenapa… Tuhan memberikan yang seperti ini dalam hidup ku…?
Eh? Apa yang aku katakan tadi…? Harusnya aku tidak boleh berkata seperti itu.
Yah, maaf. Aku salah bicara. Lancang sekali aku berbicara seperti itu pada Tuhan. Ia yang menciptakan ku, jadi itu sesuka keinginan-Nya. Aku tidak bisa memilih atau pun menyesal. Enak saja. Aku kan hanya manusia biasa bukan nabi.
Tapi, rasanya sekali-kali, aku ingin membuat kejutan yang menyenangkan untuk semua orang terdekat ku.
Mungkin ini memang saatnya.
11111
“Ibu, lihat aku…”
Bola mata ibu langsung membesar melihatku.
“Ba-bagaimana bisa, Taemin??”
Aku tersenyum padanya.
“Kemo terapi membuat alat gerak tubuh ku lumpuh, tapi sekarang aku justru bisa berjalan bu… Lihat, aku juga bisa memeluk mu.. Tunggu”
Aku melangkah sedikit demi sedikit menuju tubuh ibu ku, menengadahkan tangan ku dan memeluknya.
Kini ku lihat ibu terharu.
“Ibu, ini belum apa-apa… Aku bahkan bisa menggerakkan— Dance maksud ku… Lihat..”
Aku mencoba menari sedikit. Tapi terjatuh.
“Sudah! Sudah! Itu cukup nak..”
Masih ada linangan air mata dari mata nya. Tetapi itu sudah cukup. Karena di selingi senyuman khasnya.
Aku bersyukur bisa membahagiakan ibu walau sesaat. Dan aku cukup berterima kasih bahwa otak ku juga nggak bodoh-bodoh banget.
Aku bersyukur pernah memenangkan lomba ‘mathematic science’ for elementary school, dan aku menang juara 1.
Juga di saat aku masih duduk di junior high school, aku pernah menang lomba ‘phisics saint’ yang di adakan se-ibukota dan aku menang juara ke-2.
Dan juga disaat aku menempati jenjang menengah atas, aku menang lomba Dance antar-negara Korea, China, dan Jepang untuk kategori ‘Dancer for Expert’ sampai akhirnya aku pingsan dan pada hari itu lah, aku di diagnosa sebagai penderita kelainan syaraf otak stadium 3. Dan sampai sekarang.
Ku lihat, Minho ikut tersenyum dan menepuk pundak ku.
“Hey… Kau itu adik kesayangan ku, tahu…”
“Tahu kok…”
Seiringan dengan itu, Kak Bum juga memberikan sesuatu pada ku sambil berkata,
“Aku juga bangga pada mu! Kanker otak stadium 4 tapi malah seperti orang sehat!..”
Ibu menyenggol lengan kak Bum tanda ia tidak sopan.
“Iya maaf…” lanjutnya. “Taeminnie, yang kamu pegang tuh bukan apa-apa. Tapi lumayan lah bisa bikin kamu jejingkrakan kalau lihat…” katanya sambil mengulas senyum.
Apa ya kira-kira?
Benar saja, ketika ku buka kertasnya, spotan aku langsung membentuk huruf ‘O’ super besar di mulut ku, dan berangsur berubah jadi senyuman lepas sangking senangnya.
Kak Bum memberikan ku, dvd limited edition dari Michael Jackson plus tanda tangannya!
WHAT A COOL?!
“Yaaah, agak rumit sih cari nya. Cari di eBay juga gak bakalan nemu. Ada untungnya juga temenan sama ‘bule’ yang kebetulan dia jual stuff like this…” katanya bangga. Dan aku pun bangga, karena dia sudah memberikan ku hadiah luar biasa dari kerja keras nya.
Aku benar-benar—sungguh terhibur hari ini! Mereka begitu baik. Tidak lain Minho yang merupakan saudara tiri ku, tetapi aku tidak luput kasih sayang dari nya. Daebak!
Cuma… Ada yang kurang.
Sun Ree datang tidak ya hari ini?
“Ibu, boleh aku pinjam telepon?”
***
Tuuuuuuttt… PIK!
“Ya, tante..? Ada apa..?”
Karena pakai handphone ibu, jadi dia tidak tau kalau aku yang menelpon.
“Sun-ah” ucapku.
“Ta-taeminnie??”
“Sun-ah, apa kamu datang hari ini?”
“………………………………….”
Lho kenapa sunyi?
“Sun-ah, masih marah ya?”
Masih belum ada jawaban.
“Jeongmal, mianhae. Sun-ah, aku harap kau datang hari ini. Pokoknya harus! Kalau tidak datang, pasti menyesal..” pinta ku sambil membujuknya.
“Apa? Apa gunanya aku ada disitu?..”
Tepat sekali. Pasti dia masih marah. Aku harus jawab apa?
“Apa ya? Sepi saja tidak ada diri mu…”
Lagi-lagi dia diam. Sepertinya berhasil. Haha, dasar wanita.
“TIDAK! AKU TIDAK AKAN KESITU! TITIK!”
PIPP! Tuut.. Tuut… Tuut…
He?
***
“Taemin-ah, apa tubuh mu terasa segar?”
“Biasa saja.” Jawabku singkat pada dokter.
“Apa kepala mu pusing?”
Aku menggeleng. Sementara sang dokter men-check list daftar pada papan di tangannya.
“Baik, sekarang kamu istirahat. Saya akan datang lagi jam 8.”
Aku mengangguk sambil melipat bibir ku. Aku sedang berpikir.
Apa Sun Ree benar-benar tidak datang?
“Nak…” sapa ibu ku. Aku mengangkat alis ku.
“Kenapa kau terlihat begitu pucat..??”
Pucat? Tapi aku merasa baik-baik saja.
“Tapi aku baik-baik saja bu.”
“Ah ya, maaf. Kau memang terlihat segar justru... Bicara apa aku ini? Hahahaha….”
Lagi-lagi senyuman palsu. Lama-lama aku bosan melihatnya.
“Ibu… Bisa hubungi Sun Ree, tidak?”
“Ya baik. Aneh, tumben dia tidak datang…. Anak itu, rajin sekali kan menjenguk mu? Apa kamu marahan sama dia?” tanyanya bertubi-tubi.
“Ani.”
Ibu hanya meng’oh’kan jawaban ku dan merogoh sakunya. Kemudian mengeluarkan dan langsung memainkan kipet handphone-nya.
“Yoboseo… Sun Ree-ah, tidak datang besuk?”
Kemudian ibu mencuri pandangannya pada ku dan melanjutkan, “Ah, nde, arasseo…”
“katanya apa bu??” tanya ku langsung.
“Dia bilang, dia tidak akan kemari. Ada… urusan penting katanya. Dia… bilang maaf pada mu” katanya sambil melirik pintu.
“Ibu lihat apa sih di pintu?”
“Tidak. Tadi ada beberapa dokter yang lewat…”
Aaaarrgghh, nonsense for me! Everything’s useless if she isn’t here.
Aku merebahkan tubuh ku dan sesekali mendecak. Aku gelisah.
Bagaimana tidak, Sun Ree tidak datang sedangkan aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Dia tahu tidak sih kalau aku suka? Ugh.
CUP!
“TARAAAAA….!!!”
Aku menyentuh pipi ku. Dan melihat siapa yang melakukannya.
“Sun Ree…” bisik ku begitu terkejut. Dia malah tersenyum centil.
“Kok.. Bisa..?”
“Bisa dooong! Hehehe! Jadi, pas tante nelpon, sebenarnya aku sudah di sini. Dan aku bilang supaya tante tidak bilang-bilang dan mengalihkan pandangan mu… Dari situ aku masuk dan bersembunyi di bawah kolong tempat tidur mu, bagaimana??” jelasnya begitu cepat diiringi tawaan centil.
Aku hanya mengangkat alis ku. Sedangkan dia terlihat bingung.
“Apa kau tidak senang?”
“Ya, aku senang.”
“Begitu saja?”
“Kau hampir saja telat.”
“Telat apa? Huh, ini aku bawakan jeruk untuk mu. Ku kupas ya…”
“Terima kasih. Kau selalu membuat ku lebih baik.”
“Huh, jinjja? Biasanya kamu seperti patung jika di ajak bicara oleh ku.. Jika ku bawakan sesuatu, kamu pasti cuma makan se-iprit abis itu udah gak mau lagi…” sesalnya panjang lebar yang seketika membuat ku tertawa kecil.
“Taemin… Kau tertawa..?” tanya nya setengah tidak percaya.
“Ha? Ya tentu saja aku tertawa… Mimik mu itu gak ada cantik-cantiknya… Hahahaha..”
“Mwo ya?? Dasar…” katanya seraya melempar kulit jeruk ke muka ku.
“Haissh… Benar-benar bukan cewe yang manis…” ejek ku yang semakin membuatnya jengkel.
“Jadi itu gunanya aku di sini, hanya untuk bahan ejekan mu? Hiburan mu, begitu? Arasseo… Nee, makan nih jeruk!”
Ia menyumpalkan beberapa bar jeruk yang super asam ke mulut ku. Membuat ku menyemburkan bar-bar jeruk yang untungnya belum ku rasakan seluruhnya.
“YA! Kau juga sengaja mengupas yang paling asam ‘kan? Dasar jahil!” semprot ku.
“Siapa duluan yang suruh, ha? Siapa??”
“Aaah sudah sudah. Aku menyuruh mu kesini bukan untuk marahan lagi….”
“Terus, untuk apa?”
“Sini.. sini aku bisikin…”
“Eh? Mau bisikin apa?”
Aku mengibas-ngibaskan tangan agar ia mendekat.
“Untuk….”
CUP!
Terlihat pipi-nya menggembung merah muda sembari menyentuh bibirnya.
“Saranghaeyo.” Ucap ku segera.
“Ayo kita menikah… Sekarang!”
“M-mwoo???”
***
Aku mengusap pipi Sun Ree yang basah sehabis ku bisiki.
“Tidak usah nangis….”
Dia tetap menangis.
“Terharu? Atau sedih?”
“Bukan dua-duanya…”
“Terus?”
“This is the happiest moment I’ve ever felt!!!”
“Are you sure?”
“I’m awake, Taemin! Hahahahaha!”
“Sure. Good, we’re lover now. But please, once more, don’t hesitate to say goodbye for me…”
“There’s no goodbye, trust me?”
Aku menggeleng. “I trust God. The owner.”
“Hfft, aku tahu. Tapi aku yakin, kau—tidak—kita, akan bersatu selamanya…”
“Puh… Ahahahah… Bahasa mu itu, begitu puitis.. Aku sampai terhenyak… Hahahah”
“Apa sih? Aku kan serius!” umpatnya.
Aku mengelus puncak kepalanya.
“Its enough. I better go now, where’s mom?”
“Pergi kemana? Ibu mu sedang beli buah… Tapi lama juga ya…”
“Oh ya, tolong sms kak Bum dan Minho… Suruh kesini…”
“Baik.”
Setelah beberapa saat…
“Yak, sudah. Lalu apa lagi?”
“Ehm, pegang bel ini.”
“Bel kamar? Untuk apa? Apa mau ku panggil kan suster?”
“Sekarang jam berapa?”
Sun Ree menggulung lengan cardigans-nya.
“Jam 8.59”
“Oh gitu. Kalau begitu, hitung sampai pukul 9 pas ya. Lalu tekan bel di tangan mu itu…”
“Mengapa harus begitu?”
“Sudah, lakukan lah…”
“Apa ini akan jadi kejutan??”
“Lakukan lah…”
“Aah, baiiik! Eh! Sudah 30 menit berlalu… 29 28 27 26 25 24…..”
“8… 7… 6… 5… 4… 3… 2… 1… TENG! Aku sudah menghi— Taem?”
“Taem… kok tidur??”
“Taemin…”
“Taemin… bangunlah….”
“Taemiiin… Jangan bercanda aah… Taem!”
“Taemin!”
“Taemin!!”
“TAEMIN!!!”
“TAEMIN ANDWAE!! ANDWAEYO TAEMIN!!! TAEEMIIINN!!! Huhuhu… TAEMIN!!”
“TAEEEMM!!! UHUU UHUU!! TAEMIN….. uhuhuu.. uhuh… huaaaaanggg…. Huhuhuhu……”
TEEETT!
Minho : “Wae?? Wae?? Taemin! Taemin!! Ya Tuhan… Ugh…”
Bum : “ANDWAEEE!!! A-HANDWAAEEE…!!!! Huuuu… uhuuu….”
Sedangkan Ibu hanya bisa diam dalam tangisnya. Sedangkan semuanya menangis, tak kalah beberapa perawat dan dokter pun kelimpungan sambil terus mengguncang-guncangkan mayat itu.
Ya, akhirnya aku bisa pamit. Setidaknya aku sudah memberikan tanda-tanda kepada mereka bahwa hari ini lah… Hari ini aku resmi pergi dari mereka.
Tentu saja rasanya ingin kembali. Tidak rela jiwa ini hanya tinggal nyawa saja sekarang.
Untuk Minho :
Kakak yang baik. Masih ingat, di saat pertama kali bertemu, aku begitu membenci mu. Saat itu umur ku 5 tahun, dan kau 7 tahun. Begitu lah aku tidak suka kalau ibu menikah lagi. Aku memukul dan mencakar wajah mu hingga berdarah. Tetapi kau diam saja. Kau malah berkata, ‘Jadi lah anak yang baik. Aku akan menjaga mu, Taemin-ah’. Dan juga, aku tidak pernah menemukan kakak sehebat diri mu. Mendorong anak yang lebih besar untuk menolong ku yang tengah di-bully. Juga rela membual selama setahun bahwa aku berbohong pada Ibu kalau aku ikut kelas Dance, sampai akhirnya ibu tahu dan marah besar. Tetapi dengan penjelasan dari mu, hati ibu luluh dan akhirnya aku bisa melanjutkan impian ku itu.
Dan juga saat Ayah Choi meninggal karena kecelakaan, kau justru yang paling tegar dan aku lah yang paling tidak rela.
Untuk Bum-eonnie :
Aku bersyukur punya kakak secantik diri mu. Dan se-brilliant otak mu. Jempolan. Aku tak pernah berhenti mengingat setiap waktu yang ku habiskan dengan mu. Hilang saat di Paris, merampok uang rampokan tetangga, mengendarai mobil padahal tidak tahu caranya menyetir. Menangis bersama saat ayah kandung dan angkat kita, keduanya meninggal kecelakaan. Membuat ku tenang saat aku stress. Mengaku jadi pacar ku karena seorang yeoja gila yang terlalu obsesi pada ku—jauh sebelum mengenal Sun Ree :D
Kau adalah kakak terbaik yang pernah ada! Sering ku dengar ocehan teman-teman ku yang punya kakak perempuan, tetapi mereka menganggap itu sebagai neraka.
Sedangkan buat ku? Kau lah yang terbaik, kak.
Untuk ‘My Lovel, Eomma’ :
Terima kasih. Kau segalanya. Terima kasih. Terima kasih banyak. Dan maaf kan aku.
Semoga semua tropi dan piala yang kau pajang di ruang tamu, semua foto-foto kenangan yang kau pajang di setiap sudut rumah, dan semua hal, bisa membuat mu bangga pada anaknya.
Thanks a lotta lotta lotta thanks.
For a Rob of My Heart, Sun Ree-ah :
Sun Ree’s POV
“Saranghaeyo.” Ucapnya segera.
“Ayo kita menikah… Sekarang!”
“M-mwoo???”
Bola mata ku membulat.
“Sini ku bisiki lagi…”
Aku mendekat sedikit.
“Dengar ya…”
“Aku, Lee Taemin, bersedia menjadi seseorang dari sekian miliaran orang yang ada, untuk menjadi yang pertama bagi mu. Tak pernah lelah menolak cinta mu, dan tak pernah lelah juga untuk menyampaikan cinta ku. Semua ada alasannya dan aku tahu kau tidak perlu lagi di beritahu.”
“Aku bersedia menjadi seseorang yang datang untuk mu setiap saat, tetapi tidak menjamin akan bersama mu walau hanya sedetik. Aku akan selalu berlutut meminta maaf atas ketidak-berdayaan ku untuk bisa bersama mu. Hidup dengan mu.”
“Tetapi aku bersumpah… Untuk Tuhan yang menciptakan ku, untuk seorang yeoja yang sama sekali belum ku sentuh, untuk anak-anak yang tidak akan pernah terlahirkan karena ku, dan untuk semua orang yang mengenal atau bahkan hanya melihat ku sesaat… Aku mencintai mu… Ingin bersama mu…”
“Terima ya. Maaf, rasa suka ku hanya bisa ku sampaikan lewat kata-kata, kekasaran, dan egoism yang tinggi. Tapi yaa, semua yang ku lakukan sudah mewakili…”
Ia pun tersenyum…
Dan aku menangis lagi… Aku ‘cengeng’, katanya…
“Tidak usah nangis….”
00000
There's a song that's inside of my soul.
It's the one that I've tried to write over and over again
I'm awake in the infinite cold.
But you sing to me over and over and over again.
So, I lay my head back down.
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray, to be only yours
I know now you're my only hope.
Sing to me the song of the stars.
Of your galaxy dancing and laughing and laughing again.
When it feels like my dreams are so far
Sing to me of the plans that you have for me over again.
So I lay my head back down.
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray, to be only yours
I know now, you're my only hope.
I give you my destiny.
I'm giving you all of me.
I want your symphony, singing in all that I am
At the top of my lungs, I'm giving it back.
So I lay my head back down.
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray, to be only yours
I pray, to be only yours
I know now you're my only hope.
Song By : Mandy Moore – Only Hope
-FIN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar