Tuhan selalu mengizinkan aku hidup. Entah apa rencana-Nya. Aku merasa sudah sangat lemah. Dokter memberitahuku bahwa kanker otak yang ku derita memasuki stadium tiga. Tinggal selevel lagi. Stadium empat. Jika aku berhasil memasuki stadium tersebut, tidak akan ada lagi harapan dan hanya tinggal menunggu malaikat untuk mencabut nyawa ku. Ditengah kesakitan ini, aku merasa senang padahal sudah sangat sakit. Aku senang stadium ku masih tiga. Aku masih punya harapan. Setidaknya harapan bisa bersama seseorang yang mulai detik ini sudah ku anggap sebagai cinta pertama ku, min ho.
Dan mataku terbuka. Aku melihat sekeliling. Sepi sekali. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aah, sepertinya Tuhan sudah mengambil nyawa ku. Bagus lah.
Min ho: SHIN HA! ASTAGA KAU SUDAH SADAR???
Aku terkaget-kaget sampai-sampai ingin pingsan kembali.
Min ho: ya ampun shin haaaa….
Aku melihat min ho hanya menggeleng-geleng sambil memegang jidat. Satu lagi, cih, aku masih hidup.
Min ho: ck, kau membuatku sangat-sungguh-benar2 ketakutan….kau tau…cih, sudahlah… istirahat deh. Aku dan kau akan menginap disini. Kau terlalu payah untuk di bawa jalan….aku tidak akan berbuat macam2, tenang saja.
Di macam-macami juga aku bersedia kok. Hihi.
Setelah itu, aku melihat ia keluar klinik. Sepertinya sedang menelpon.
Tanpa sepengetahuan ku, min ho menghubungi pak han wa.
Min ho: selamat malam, ng…pak, ada pasien mu yang…dia muntah darah. Dia memberitahuku kalau ia sakit usus buntu tetapi…masa usus buntu muntah darah?
Pak han wa: dia memberitahu mu seperti itu?
Min ho: ya. Aku penasaran. Dia tidak menunjukkan gejala2 usus buntu. Apakah aku berikan saja obat usus buntu?....
Pak han wa: jangan. Jangan kau berikan itu. tolong kau buka lemari ku dan lihatlah daftar pasien. Cek namanya dan lihat sendiri apa penyakitnya…
Min ho: namanya shin ha. Jun shin ha. Dia sakit apa pak?
Pak han wa: lihat saja sendiri.
Min ho: tapi pak, kau pasti tau yang…
Pak han wa: lihat saja sana!
Min ho: oh, ng, baiklah. Terima kasih pak dan maaf sudah mengganggu. Selamat malam.
Min ho terlihat mengakhiri panggilan. Kemudian ia masuk dan segera membuka lemari.
Min ho: ng, kau tidur saja. Kalau kau ingin apa-apa, aku ada didekatmu. Ayo, lekas tidur.
Aku merebahkan badanku ke kasur. Sebenarnya aku belum mau tidur sih.
Ketika min ho hendak membuka lemari, aku memanggilnya.
Saya: min ho…
Min ho: kenapa tidak jadi tidur?
Saya: maaf ya…
Min ho: maaf untuk apa?
Saya: pasti aku membuat mu malu tadi di depan orang banyak.
Aku menunduk. Apa-apaan aku ini. orang yang ku sayang malah ku permalukan. Pasti dia berpikir lebih baik tidak jadi ditraktir kalau tau akan begini jadinya. Huh, emang bego, mau gimana lagi?
Min ho: jangan menangis.
Aku menoleh padanya.
Saya: siapa yang menangis?
Min ho: ckck..
Min ho menghampiri ku lalu mengusap pipiku.
Min ho: tidak menangis bagaimana? Deras sekali air mancurnya…
Aku memegang pipi ku. Dan ternyata memang basah. Tapi kayaknya aku tidak menangis deh. Hmm, sudahlah.
Min ho: tidurlah. Eh, ada nomor sekolah mu tidak? Aku akan meminta izin kalau kau sakit.
Saya: mereka sudah pasti tau kok.
Min ho: memang kau sering sakit?
Saya: he? Yah…begitu lah…
Mampus. Seharusnya aku tidak usah banyak omong.
Min ho: kau lapar?
Saya: ah, tidak. Kau kali yang lapar…
Min ho: aku? Aku justru ingin mengeluarkan setengah makanan ku tadi. Fuh, kenyang sekali. Haha.
Aku tersenyum.
Min ho: eh, coba senyum seperti tadi?
Saya: ha? Ah, tidak mau.
Min ho: hei, ayolah. Aku ingin lihat lagi. Satu kali saja…
Saya: aku tidak mau.
Min ho: ayo doong. Senyum mu itu bagus. Ku mohoon… ayo shin ha…
Mukanya memelas. Hadeh, kenapa jadi begini? Aku justru selalu melihat, senyuman ku lah yang paling tidak berkesan ketika diajak berfoto.
Aku menggeleng tetapi ia terus saja memaksa.
Saya: oke. Sekali saja kan?
Min ho: iya, tolonglah….
Ia menempelkan kedua telapak tangannya. Aku melihatnya sangat lucu. Kemudian aku tersenyum. Min ho terlihat kaget dan tanpa di duga, memelukku.
Aku terpaku. Min ho masih memelukku dalam diam. Sekitar satu menit, ia melepaskan pelukannya.
Min ho: maafkan aku. Maaf aku lancang…
Aku mengangguk karena tidak mengerti mengapa ia melakukan itu.
Min ho: kau mirip adikku.
Saya: apa?
Min ho: senyuman mu mirip adikku makanya aku memeluk mu.
Aku meng-oh-kan perkataanya. Tetapi setelah ia memelukku, wajahnya terlihat sedikit sedih.
Saya: ada apa?
Min ho: ah? Tidak apa-apa. ehm, apa kau sudah mengantuk?
Saya: sepertinya iya.
Min ho: yah, tidurlah. Kalau mau apa-apa, panggil aku. Oke?
Saya: ah, iya.
Aku kembali berbaring. Sungguh menyenangkan. Aku tidak pernah bertemu lelaki berwatak baik seperti dia. Seperti bayangan para wanita, saat ini aku merasa seperti suami-istri. Ah, memang bayangan yang menggelikan. Dan klinik ini tempatnya. Tempat dimana aku bisa bertemu dan mengenalnya. Klinik ini sungguh berjasa. Aku akan mengingat ini seumur hidup ku. Aku pun terlelap.
Min ho masih mencari-cari sesuatu. Ia mengutak-atik daftar nama pasien tetap klinik ini. ia mencari namaku.
Min ho: ah, ketemu.
Ia membuka isi biodata ku. Ia membolak-balik isinya dan terhenti pada sebuah kertas. Di kertas tersebut tertulis ‘ Penyakit yang Di Derita’. Ia melihat apa penyakitku. ‘Pasien ini Menderita : Brain Cancer Stadium 4’
Min ho: ya Tuhan..apa-apaan ini?…
To be continued…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar